Kabupaten Sumba Tengah terletak di Pulau Sumba, NTT. Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Indonesia, kabupaten ini cukup unik karena hanya 36,5% saja dari total lahannya yang digunakan untuk aktivitas manusia. Sisanya merupakan area hutan lindung.
Sayangnya, lahan yang hanya 36,5% tersebut juga merupakan lahan kritis, sehingga sulit dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Lahan kritis merupakan lahan yang sangat kering pada musim kemarau, namun cepat ditumbuhi ilalang pada musim hujan. Karakteristik tersebut menyebabkan lahan kritis tidak bisa dipakai untuk pertanian, perkebunan, maupun kehutanan.
Tim Peneliti LPEM beserta tenaga ahli lokal yang terdiri dari pemerintah kabupaten, Bappeda, serta akademisi, merumuskan dua solusi untuk memperbaiki lahan kritis sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Yang pertama, tim peneliti mengusulkan program penanaman pohon sengon dan pemeliharaan sapi yang pengelolaannya diserahkan pada kelompok tani. Yang kedua, tim peneliti menyarankan dibuatnya program optimalisasi air bawah tanah dengan teknologi fotovotaik.
Di program yang pertama, tim peneliti sengaja memilih pohon sengon dan sapi dibanding tanaman atau hewan lainnya. Pohon sengon cocok untuk tumbuh di iklim kering Sumba karena dapat bertahan meskipun dengan sedikit air. Sementara itu, sapi dipilih karena nilai jualnya yang tinggi. Selain itu, sapi dapat diberi makan daun sengon, sehingga masalah pakan tidak perlu dikhawatirkan masyarakat.
Hasil analisis biaya dan manfaat menunjukkan bahwa program pertama menghasilkan tingkat pengembalian sebesar 158%. Angka tersebut didapat dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit pohon sengon dan sapi, ditambah dengan biaya pemeliharannya. Biaya yang didapat kemudian dibandingkan menggunakan rumus dengan manfaat yang didapat dari program ini, yaitu hasil penjualan kayu sengon, hasil penjualan sapi, serta hasil penjualan daun sengon sebagai pakan ternak.
Dengan tingkat pengembalian yang nilainya positif, maka tim peneliti merekomendasikan program ini untuk dilaksakanan. Dengan menanam pohon sengon dan memelihara sapi, masyarakat sekitar dapat memanfaatkan lahan kritis yang selama ini dibiarkan begitu saja.
Solusi kedua yang diusulkan oleh tim peneliti adalah program optimalisasi air bawah tanah dengan teknologi fotovoltaik. Teknologi fotovoltaik memanfaatkan energi matahari untuk menghasilkan listrik yang dapat memompa air tanah ke permukaan.
Selama ini, keringnya lahan kritis di musim kemarau berarti tidak ada tanaman yang bisa dibudidayakan di atasnya. Namun, dengan adanya pasokan air, masyarakat akan tetap bisa bertanam dan beternak ikan di atas lahan kritis, bahkan pada musim kemarau.
Untuk memberi nilai tambah bagi program ini, beberapa kelompok tani di Sumba Tengah akan dibimbing untuk membudidayakan padi dan cabai menggunakan air tanah dari fotovoltaik. Hasil analisis biaya dan manfaat menunjukkan tingkat pengembalian dari program ini sebesar 15%.
Untuk mendapatkan angka tersebut, tim peneliti melakukan cost-benefit analisis terhadap program ini. Cost berupa pembangunan sumur fotovoltaik, sewa lahan, biaya bibit, biaya pemeliharaan serta biaya tenaga kerja dijumlahkan, kemudian dibandingkan menggunakan rumus dengan benefit-nya, yaitu hasil penjualan padi dan cabai.
Kedua program ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi masalah lahan kritis yang dihadapi oleh Sumba Tengah. Tentunya, untuk memperbaiki lahan kritis serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara total, program ini perlu dilaksanakan secara menyeluruh dan bukan hanya di beberapa desa di Sumba Tengah.
Pemerintah juga perlu memikirkan detail kebijakan yang dapat mendukung terlaksananya program ini dengan efektif. Misalnya, dengan memastikan distribusi benih unggul dan pupuk terbagi rata. Selain itu, Pemerintah juga diharapkan dapat menyediakan pasar untuk menampung hasil produksi sengon, padi, dan cabai.