Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat adalah daerah yang indah dengan kontur alam yang lengkap. Namun, ibukota provinsi ini tengah mengalami masalah lingkungan yang mendesak, yaitu pengelolaan sampah.
Dinas Tata Ruang dan Kebersihan Mamuju menyatakan bahwa meskipun volume sampah yang dihasilkan masyarakat Mamuju menurun dari tahun ke tahun, namun jumlah sampah yang mampu ditangani Pemerintah juga ikut menurun.
Akibatnya, jika di tahun 2011 sampah di Mamuju yang bisa ditangani mencapai 90,9%, di tahun 2014 prosentasenya hanya 85,5% saja. Fakta ini perlu diwaspadai, karena berarti program-program pengelolaan sampah di daerah tersebut kurang (tidak sebanding jumlahnya dengan sampah yang dihasilkan) atau tidak efektif pelaksanaannya.
14,5% sampah yang tidak terangkut oleh Pemerintah itu mau tidak mau harus ditangani oleh masyarakat. Masalahnya, masyarakat belum tentu paham akan cara penanganan sampah yang benar. Selama ini, umumnya mereka mengenal tiga cara pembuangan sampah, yaitu:
- dibuang ke saluran drainase atau sungai, sehingga mengotori air dan dapat menyebabkan banjir;
- dibakar sehingga menimbulkan pencemaran udara, atau;
- ditimbun tanpa dipilah dan diolah sehingga mencemari tanah;
Ketiga cara sudah menjadi kebiasaan yang wajar untuk menghilangkan sampah. Sebab, masyarakat menganggap sampah sebagai barang kotor yang harus dijauhkan. Hal ini diperkuat dengan terbiasanya mereka melihat metode pengolahan sampah kumpul-angkut-buang.
Padahal, kenyataannya, tujuan akhir dari pengolahan sampah sebaiknya bukan hanya menjauhkan atau membuang sampah tersebut. Sebaliknya, diharapkan masyarakat justru mengurangi sampah dan jika sudah terlanjur, sampah seharusnya tidak langsung dibuang tapi diolah dulu menjadi barang yang bermanfaat.
Metode kumpul-angkut-buang tidak mendukung paradigma ini, namun ada metode yang lebih baik. Metode tersebut dinamakan kumpul-pilah-olah. Dalam metode ini, sampah yang terkumpul di TPA akan disortir sesuai jenisnya, yaitu organik dan anorganik. Sampah organik kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik seperti plastik, kaca, kertas dan seterusnya dapat didaur ulang.
Tim Peneliti LPEM FEB UI bersama tenaga ahli lokal Kabupaten Mamuju, termasuk representasi dari Pemerintah Kabupaten, Bappeda, serta akademisi, menganalisis kelayakan pembangunan TPA berbasis kumpul-pilah-olah (TPA-KPO) di Mamuju. Analisis kelayakan dilakukan menggunakan cost-benefit analysis.
Dalam analisis ini, tim peneliti memperhitungkan berapa besar biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah TPA-KPO di Mamuju, lalu dibandingkan dengan manfaat yang didapat dari pembangunan TPA ini. Hasilnya, pembangunan TPA-KPO dinilai layak dengan tingkat pengembalian investasi sebesar 13,7%.
Manfaat yang bisa diperoleh Kabupaten Mamuju dengan adanya TPA-KPO ini cukup besar. Pertama, pencemaran lingkungan dari sampah yang tidak tertangani akan berkurang sehingga meningkatkan kualitas lingkungan hidup Kabupaten Mamuju, baik di tanah, air maupun udara. Kedua, Pemerintah Kabupaten Mamuju juga bisa menambah pendapatan daerah dari retribusi dan penjualan kompos hasil olahan sampah organik yang terkumpul di TPA-KPO.
Namun, manfaat yang lebih besar adalah manfaat sosialnya. Manfaat sosial merupakan manfaat yang tidak langsung dapat diterima seperti hasil penjualan kompos, namun dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat banyak.
Manfaat sosial yang pertama dari adanya TPA-KPO di Mamuju adalah berkurangnya biaya berobat oleh masyarakat untuk penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan yang kotor. Keberadaan sampah yang menumpuk dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti disentri, kolera, tipus, dan lain-lain. Jika sampah dapat diolah di TPA-KPO, risiko masyarakat untuk terjangkit penyakit-penyakit ini dapat menurun.
Manfaat sosial kedua adalah bertambahnya produktivitas masyarakat karena lingkungan yang bersih. Ketika lingkungannya bersih, masyarakat menjadi lebih sehat, dan efeknya produktivitas mereka saat bekerja meningkat juga. Lingkungan yang bersih juga mempermudah berbagai usaha untuk berkembang. Misalnya, industry-industri lokal tidak akan kesulitan mencari air bersih atau bahan baku apabila kualitas lingkungan hidup sekitarnya tinggi.
Kesimpulan dari hasil analisis tim peneliti, pembangunan TPA-KPO dapat mengurangi masalah sampah di Mamuju. Namun, untuk mengatasi masalah sampah secara total, maka TPA-KPO saja belum cukup. Sebaiknya, pembangungan TPA-KPO juga dibarengi dengan usaha lain, seperti peningkatan sarana dan prasarana pengolahan sampah – seperti mobil armroll dan truk pengangkut sampah; edukasi untuk SDM di bidang kebersihan; serta edukasi kepada masyarakat untuk mengubah cara pandang merekat terhadap sampah.